Sabtu, 14 Agustus 2010 21:54:09

Kemerdekaan, Bangsa Yang Bernegara

Kemerdekaan, Bangsa Yang Bernegara

Beritabatavia.com - Berita tentang Kemerdekaan, Bangsa Yang Bernegara

Dalam rentang kita hari ini, sebuah era di mana globalisme tengah dijajahkan dalam arus deras pasar bebas yang seakan tak dapat dihindari. Sehingga ...

Kemerdekaan, Bangsa Yang Bernegara Ist.
Beritabatavia.com - Dalam rentang kita hari ini, sebuah era di mana globalisme tengah dijajahkan dalam arus deras pasar bebas yang seakan tak dapat dihindari. Sehingga sesuatu yang lampau, semua yang pernah ada, kemudian menjadi barang usang. Semacam produk keterbelakangan,  yang menjadi hiasan di sudut-sudut ruang tamu. Kemudian, dalam batas ini konsepsi negara bangsa, yang sekian lama menjadi ikatan kita, bisa jadi kini pun ditempatkan tak lebih dari bagian barang antik. Sebuah konsepsi usang tertumpuk dalam rak-rak perpustakaan, yang hanya menjadi milik masa lampau, yang sesekali digunakan sebagai jimat untuk memperdaya kegundahan abad ini.

Lihatlah hari ini, NKRI hanya empat huruf akronim, yang murid-murid di sekolah kita bisa jadi tak tahu apa kepanjangannya. Hari ini, seolah masa lalu kita kemudian hanyalah merupakan sekumpulan akronim. Hanya serupa coretan di tembok-tembok. Sebentuk slogan atau tak lebih dari yel-yel di dalam stadion saat menyaksikan sisa-sisa jagoan bulutangkis kita --yang tampil modis—¬berjuang mempertahankan Merah-Putih.  Atau, paling jauh, seperti iklan layanan yang dengan kikuk memaksakan kata: Merdeka! dalam selipan produk tertentu.

Inikah kita hari ini? Sebuah bangsa yang kikuk akan masa kini, jengah akan masa lalu dan risau akan masa depan. Sebuah bangsa yang terbata-bata saat mengeja dirinya. Iya, kita terbata-bata mengapa bencana tak kunjung usai. Mengapa konflik horisontal yang mengunggah keyakinan, membuat beberapa daerah berubah menjadi Kamboja atawa Beirut yang dapat meledak tiba-tiba! Tapi, disaat yang berhimpit kita sibuk bersolek mematut-matut diri di depan kaca retak globalisme, sembari meniru-niru trend baru neolibralisme.

Rasa kikuk akan kekinian tentu saja merupakan gejala tidak percaya diri alias ngak pede. Rasa jengah akan masa lampau, jangan-jangan hanya disebabkan karena ada yang ditutup-tutupi, sebuah kepura-puraan. Bahwa di tengah kibaran bendera globalisme yang membonceng neolibralisme, yang perlahan tapi pasti juga menggendong agenda-agenda gelap sejenis separatisme—kini sebagai entitas yang pernah mengikat dirinya dalam sebuah negara-bangsa kita bisa jadi dibuat kehilangan rasa percaya dirinya. Sehingga yang tampak hanyalah kekenesan yang sesekali terasa hipokrit.

Mungkin inilah kita hari ini. Bukan lagi sebuah bangsa yang bernegara, sebuah entitas yang mengerti riwayatnya. Tapi segerombolan besar orang yang berkerumun dalam sebuah pasar malam, yang berharap hadiah manisan dari lotre yang dipasang. Kita, adalah orang per orang yang berada di dalam ruang yang sama, dengan tawa, teriakan, atau juga tangisan yang berbeda.

Alhasil, kalau kemudian semua ini kita teruskan dengan terus menggadang-gadang lotre globalisme, dan berharap manisnya dollar neolibralisme akan diraih, mungkin dalam saat yang tak terlalu lama kita akan tercerai-berai, dipisahkan oleh tawa, teriakan atau tangisan, sebagaimana tatkala pasar malam mengakhiri sekejap keriangan yang ditawarkan.

Getir memang. Kecuali, kalau kita mau sedikit menyibak lembar demi lembar dan belajar kembali dari sesuatu yang pernah kita miliki. Sebagaimana, barisan pengikut Zapata di Chiapas, Meksiko. Kita, yang melihat di masa lalu adanya pelajaran, bukan kesusahan, yang menoleh ke hari kemarin untuk belajar, bukan bertobat. Kita, yang melihat di masa depan sesuatu yang dibangun hari ini, yang mencita-citakan hari esok dengan semua orang. Kita, yang menyeimbangkan ketakutan dengan kecanggungan, kearifan dengan keberanian, dan ketidakacuhan dengan ingatan. Demikian tulis, juru bicara barisan ini, yang menyebut dirinya dengan Subcomandante Marcos, dalam sebuah pidatonya.

Tanpa harus menjadi kenes dan juga risau, mungkin tidaklah salah untuk menjajal ikhtiar yang dilakukan barisan yang menghargai lokalitas suku Indian di Chiapas ini. Penghargaan mereka akan nilai-nilai kearifan lokal yang dipetik dari para leluhurnya. Realitas memang tak pernah mudah, tapi sungguh layak untuk dicapai, tandas Subcomandante Marcos. Bahwa, ada sesuatu dari yang acap dianggap usang. Bukankah, kekinian dan hari esok adalah merupakan lanjutan  tapak-tapak di masa lalu? Sesungguhnya tak ada jalan untuk mengingkarinya.

Kalau pun Chiapas terlampau asing, adalah masyarakat suku Baduy mungkin tidaklah terlampau jauh untuk kita simak. Betapa, masih ada sebarisan anak negeri ini, yang dengan teguh menghargai kearifan lokal, tanpa mesti ikut-ikutan kenes dalam tarian separatisme ala neoliberalisme. Bukankah kita, hingga saat ini, belum pernah mendengar rengekan saudara-saudara kita di Baduy untuk diperhatikan lebih? Tak pernah! Mereka memang memilih jalan-lain" tapi tanpa pernah berniat untuk berpisah dari barisan negara-bangsa ini. Kearifan ini adalah bukti betapa hendaknya negara-bangsa yang kita yakini sebagai Indonesia ini adalah sejak dahulu, kini, dan kelak adalah tempat cita-cita bagi semua orang.  Sebentar lagi tanggal 17 Agustus.  Sudah 65 tahun Proklamasi pada bulan puasa itu dibacakan.  Semoga kita tetap ingin merayakannya. Merdeka...!!! O Dadang RHs
Berita Terpopuler
Berita Lainnya
Jumat, 29 April 2022
Selasa, 01 Maret 2022
Minggu, 30 Januari 2022
Jumat, 28 Januari 2022
Selasa, 02 November 2021
Rabu, 25 Agustus 2021
Jumat, 23 Juli 2021
Rabu, 16 Juni 2021
Jumat, 07 Mei 2021
Kamis, 11 Maret 2021
Selasa, 12 Januari 2021
Jumat, 11 Desember 2020