Selasa, 15 November 2011 14:52:55

Etnis Tionghoa Lebih Siap Hadapi Globalisasi

Etnis Tionghoa Lebih Siap Hadapi Globalisasi

Beritabatavia.com - Berita tentang Etnis Tionghoa Lebih Siap Hadapi Globalisasi

Populasi etnis Tionghoa hanya 3,5 persen  dari total  penduduk Indonesia. Namun, mampu mengendalikan 73 ...

Etnis Tionghoa Lebih Siap Hadapi Globalisasi Ist.
Beritabatavia.com - Populasi etnis Tionghoa hanya 3,5 persen  dari total  penduduk Indonesia. Namun, mampu mengendalikan 73 persen  roda ekonomi  di negeri ini.

SIKAP dan pandangan masyarakat serta kebijakan politik mempengaruhi perilaku ekonomi etnis Tionghoa di Indonesia. Sehingga sangat ditentukan dengan situasi dan kondisi sosial dan politik yang sedang berlangsung.

Ekonomi Etnis Tionghoa Agustus 1999 - Maret 2000

Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berupaya menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif. Ditandai dengan dicabutnya beberapa Kepres dan Inpres yang dinilai mendiskriminasikan etnis Tionghoa. Dilanjutkan dengan imbauan agar pelaku ekonomi etnis Tionghoa kembali menjalankan usahanya di Tanah Air.

Meskipun, upaya itu belum bisa meyakinkan para pelaku ekonomi etnis Tionghoa. Karena, gaya kepemimpinan dan politik Gus Dur sering berubah arah. Sehingga berdampak pada fluktuasi nilai tukar mata uang asing terutama dollar Amerika Serikat di bursa saham Jakarta. Tentu saja, hal ini menggoyahkan kestabilan usaha ekonomi terutama kalangan pihak asing dan pelaku ekonomi etnis Tionghoa.
Pelaku ekonomi etnis Tionghoa masih menunggu langkah-langkah konkret pemerintah Gus Dur untuk memperbaiki situasi perekonomian dan usaha nasional. Walaupun demikian pelaku ekonomi etnis Tionghoa masih merasa aman berbisnis dan tinggal di Indonesia.
Sehingga, mereka hanya menjalankan usaha yang  tidak  beresiko tinggi tetapi dapat menguntungkan. Terutama pada  usaha-usaha bagian hilir.

Kuasai 73 Persen Indonesia

Perilaku ekonomi etnis Tionghoa sepanjang periode tahun 1930-an sampai Maret 2000 masih dibumbui oleh berbagai stereotipe miring tentang peran ekonomi etnis Tionghoa di Indonesia. Antara lain, kebobrokan ekonomi Indonesia akibat banyaknya dana yang dibawa pengusaha etnis Tionghoa ke luar negara.  Kemudian, budaya  kolusi dan nepotisme pengusaha etnis Tionghoa untuk mempengaruhi para birokrat.
Mengutip pernyataan Bustanil Arifin, dalam Pasific Business Forum (Naisbitt, 1997:19-20), bahwa perusahaan kecil dan menengah mempekerjakan separuh tenaga kerja di banyak negara-negara Asia dan etnis Tionghoa memiliki 90 persen dari perusahaan-perusahaan tersebut.

Di Indonesia, populasi etnis Tionghoa hanya 3,5 persen  dari seluruh total populasi penduduk Indonesia tetapi mampu mengendalikan sebanyak 73 persen  ekonomi di Indonesia.
Lebih Siap Hadapi Globalisasi
Etnis Tionghoa di Indonesia menjadi salah satu masyarakat keturunan Tionghoa perantauan yang hidup dan tinggal di luar negara asalnya. Jaringan kerja etnis Tionghoa perantauan sejak kegiatan ekonomi tahun 1990-an hingga kini mendominasi kegiatan ekonomi wilayah Asia, termasuk Indonesia.

Menguatnya jaringan-jaringan kerja lintas negara ini mendominasi pula cara atau perilaku etnis Tionghoa di Indonesia dalam menyikapi galobalisasi. Etnis Tionghoa di Indonesia sebagian besar lebih siap menyongsong globalisasi.
Keistimewaan perilaku ekonom etnis Tionghoa yang pertama adalah terletak pada kuatnya sistem jaringan kerja. Walaupun demikian sikap kompetitif antara mereka tetap terpelihara secara sehat.

Bangun Sistim Jaringan

Bahkan saat terjadi krisis ataupun munculnya tantangan besar, mereka akan saling bekerjasama. Bisnis keluarga menjadi salah satu ciri jaringan kerja yang mereka bentuk. Demikian pula di Indonesia, usaha kecil sampai perusahaan besar etnis Tionghoa di Indonesia banyak yang dikelola sebagai usaha keluarga, contohnya Salim Group, Khong Guan, PT Cap Orang Tua perusahaan jamu Jago, perusahaan jamu Air Mancur, dan lain-lain.

Sebagai gambaran tokoh konglomerat etnis Tionghoa, yang sukses di luar negara asalnya  adalah Liem Sioe Liong. Pria asal Cina Selatan ini kemudian berganti nama menjadi Soedono Salim datang ke nusantara pada tahun 1930 an. Kemudian lewat jaringan usaha perdagangan ia bisa berhubungan erat dengan Soeharto, Presiden ke dua  RI. Ketika itu,  Liem Sioe Liong memberikan dukungan untuk melawan penjajah Belanda.
Mereka saling bersahabat sampai Soeharto menggantikan Presiden Soekarno tahun 1965. Keuntungan yang didapat Liem Sioe Liong dari hubungan ini adalah diperolehnya berbagai fasilitas ijin ataupun proyek untuk perusahaan Salim Group.

Perilaku hubungan jaringan kerja antara etnis Tionghoa terbentuk karena pengalaman yang mereka lalui. Sesama migran etnis Tionghoa dimanapun berada saling menjaga dan membantu.
Menurut Wertheim yang dikutip oleh Mackie (1991: 293), pembagian kelas etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi bersifat vertikal dalam artian sebagai sikap primordial.
Hubungan jaringan kerja antar etnis Tionghoa di Indonesia ini, menguatkan psikis anggotanya melalui hubungan bisnis dan sebagainya. Selain itu hubungan jaringan kerja ini berfungsi sebagai mediator toleransi antar etnis Tionghoa dengan masyarakat, terutama dalam hubungan bisnis.

Kuatnya hubungan jaringan kerja etnis Tionghoa di Indonesia, semakin  mendorong usahawan etnis Tionghoa mendirikan usahanya sampai ke wilayah pelosok-pelosok pedesaan.
Tetapi kondisi ini tidak memancing konflik. Justru dominasi etnis Tionghoa, menjadi pemicu timbulnya persaingan keras dan positif dengan pengusaha pribumi kelas menengah.

Investasi Modal Jangka Panjang

Dalam tiga dasa warsa terakhir, masyarakat etnis Tionghoa perantauan dan atau etnis Tionghoa di Indonesia justru cenderung menanam modal jangka panjang di dalam negeri (Naisbitt, 1997:28).
Sikap ini mematahkan generalisasi stereotipe bahwa etnis Tionghoa cenderung menanamkan investasi di negara asal.Namun sikap ini,  tergantung kebijakan politik pemerintah dan sikap rakyat pada umumnya.

Dalam kenyataan sosial dan politik, beberapa orang dalam masyarakat pribumi menganggap etnis Tionghoa lokal tetap sebagai orang luar yang diragukan nasionalismenya. Sehingga membuat etnis Tionghoa merasa terancam dan tidak ada pilihan lain untuk bertahan dengan solidaritas komunal sebagai kelompok minoritas yang tertindas.
Tentunya kecenderungan untuk menanam modal jangka panjang di negara yang mereka tempati mendukung integrasi dengan komunitas lokal. Hal ini dibuktikan dibanyak tempat di nusantara bahwa etnis Tionghoa dapat berbahasa lokal.

Budaya Kerja Keras & Hemat

Walaupun mereka menjalankan integrasi lokal, dalam beberapa kehidupan keseharian,  etnis Tionghoa yang belum atau tidak melakukan pernikahan asimilasi dengan pihak pribumi, tetap mempertahankan kemampuan baca dan berbicara bahasa Mandarin.
Karakteristik lain yang dimiliki etnis Tionghoa di Indonesia adalah kemauan kerja kerasnya dan kebiasaan hidup hemat. Mereka mampu bekerja dalam waktu yang panjang dan jarang beristirahat kecuali untuk hari besar mereka.
Senantiasa menghasilkan uang, sudah menjadi kebiasaan sekaligus kesenangan mereka. Prof. Wang Gung Wu menegaskan bahwa sikap orang Tionghoa mengarah pada kemakmuran (dalam Wang dan Cushman,  1991:30).

Salah satu kesamaan karakteristik antara etnis Tionghoa di Indonesia dengan masyarakat pribumi berkaitan dengan konflik adalah lebih menyukai penyelesaian melalui negoisasi, dibandingkan pemecahan konflik secara formal.0  lan/son

Berita Lainnya
Senin, 25 Maret 2024
Senin, 25 Maret 2024
Senin, 25 Maret 2024
Minggu, 24 Maret 2024
Sabtu, 23 Maret 2024
Jumat, 22 Maret 2024
Kamis, 21 Maret 2024
Rabu, 20 Maret 2024
Rabu, 20 Maret 2024
Senin, 18 Maret 2024
Senin, 18 Maret 2024
Senin, 18 Maret 2024